Senin, 18 November 2019

STM Dalam Aksi Menolak RUU



Keterlibatan pelajar STM (Sekolah Teknik Menegah) dalam aksi menolak RUU bersama Mahasiswa di sejumlah daerah terutama di gedung DPR bisa kita baca dengan Zona Otonomi Temporer Hakim Bey. Banyak yang berpendapat bahwa mereka adalah aktor anarkis yang datang dengan tiba-tiba, tanpa adanya alasan lalu terlibat dengan politik. Tudingan bahwa mereka buta atau tidak mengetahui apapun (polos) terhadap ketegangan yang terjadi, secara tidak langsung mengkerdilkan ketertindasan mereka. Bagaimana dan apa maksudnya?

Mereka ditindas oleh sistem pendidikan, budaya perundungan, kompetisi lingkungan, keluarga, agama, dan ketimpangan ekonomi. Pelajar STM selalu diidentikan dengan masyarakat kelas sosial bawah. Alasan mereka tawuran, berkelahi, anarkis, dan sejenisnya adalah wujud pelarian atau perlawanan mereka terhadap sistem dan nilai yang telah menindas mereka tadi. Jalanan menjadi ruang temporer untuk melampiaskan itu semua, melampiaskan kebebasan dengan caranya sendiri. Lepas dari struktur apapun yang sehari-hari menindas mereka.

Apakah mereka salah? Mereka adalah korban struktur yang menindas. Jika mereka melakukan perlawanan balik itu sebenarnya adalah hal yang wajar. Yang dipermasalahkan disini adalah mereka hanya tidak cocok dengan standar perlawanan yang diyakini oleh masyarakat umum. Bahkan banyak aktivis yang menolak kehadiran pelajar STM dalam panggung aksi protes saat itu.

Padahal mereka turun dengan aspirasi mereka sendiri yang tidak muncul pada poster-poster aksi atau ruang debat di televisi atau media masa lainnya. Apakah mereka tidak paham isu? Bukan. Mereka hanya tidak peduli dengan isu, mereka tidak peduli dengan standar moral masyarakat yang berlaku, yang sebenarnya tidak lain adalah sumber penindasan yang mereka alami. Mereka tidak peduli dengan banyak tudingan ditunganggi maupun menunganggi aksi. Mereka tidak berurusan dengan saling klaim antara Buzzer pemerintah dan aktivis. Bagi mereka adalah jalanan adalah ruang dari kebebasan mereka. Meskipun itu hanya sementara saja.

Disana mereka bisa melakukan apa saja untuk melampiaskan bentuk kebebasan mereka, mulai dari aksi anarkis, bentrok, merusak, mengejek,dan meneror tapi setalah mereka kembali ke khidupan mereka ke sekolah atau rumah mereka akan terkurung lagi. Jadi tidak perlu kita menambah beban penindasan yang mereka alami sehari-hari, dengan standar demontrasi aksi protes yang santun ala negara hukum. Mereka punya cara sendiri yang sulit untuk dipahami.

Source: @subanonim (Twitter)
Penyunting: Heru Adi P. S.Pd.

0 Comments

Posting Komentar