Keterlibatan pelajar STM (Sekolah Teknik Menegah) dalam aksi menolak RUU bersama Mahasiswa di sejumlah daerah terutama di gedung
DPR bisa kita baca dengan Zona Otonomi Temporer Hakim Bey. Banyak yang
berpendapat bahwa mereka adalah aktor anarkis yang datang dengan tiba-tiba,
tanpa adanya alasan lalu terlibat dengan politik. Tudingan bahwa mereka buta
atau tidak mengetahui apapun (polos) terhadap ketegangan yang terjadi, secara
tidak langsung mengkerdilkan ketertindasan mereka. Bagaimana dan apa maksudnya?
Mereka ditindas oleh sistem pendidikan, budaya
perundungan, kompetisi lingkungan, keluarga, agama, dan ketimpangan ekonomi.
Pelajar STM selalu diidentikan dengan masyarakat kelas sosial bawah. Alasan
mereka tawuran, berkelahi, anarkis, dan sejenisnya adalah wujud pelarian atau
perlawanan mereka terhadap sistem dan nilai yang telah menindas mereka tadi.
Jalanan menjadi ruang temporer untuk melampiaskan itu semua, melampiaskan
kebebasan dengan caranya sendiri. Lepas dari struktur apapun yang sehari-hari
menindas mereka.
Apakah mereka salah? Mereka adalah korban struktur
yang menindas. Jika mereka melakukan perlawanan balik itu sebenarnya adalah hal
yang wajar. Yang dipermasalahkan disini adalah mereka hanya tidak cocok dengan
standar perlawanan yang diyakini oleh masyarakat umum. Bahkan banyak aktivis
yang menolak kehadiran pelajar STM dalam panggung aksi protes saat itu.
Padahal mereka turun dengan aspirasi mereka
sendiri yang tidak muncul pada poster-poster aksi atau ruang debat di televisi
atau media masa lainnya. Apakah mereka tidak paham isu? Bukan. Mereka hanya
tidak peduli dengan isu, mereka tidak peduli dengan standar moral masyarakat
yang berlaku, yang sebenarnya tidak lain adalah sumber penindasan yang mereka
alami. Mereka tidak peduli dengan banyak tudingan ditunganggi maupun
menunganggi aksi. Mereka tidak berurusan dengan saling klaim antara Buzzer
pemerintah dan aktivis. Bagi mereka adalah jalanan adalah ruang dari kebebasan
mereka. Meskipun itu hanya sementara saja.
Disana mereka bisa melakukan apa saja untuk
melampiaskan bentuk kebebasan mereka, mulai dari aksi anarkis, bentrok,
merusak, mengejek,dan meneror tapi setalah mereka kembali ke khidupan mereka ke
sekolah atau rumah mereka akan terkurung lagi. Jadi tidak perlu kita menambah
beban penindasan yang mereka alami sehari-hari, dengan standar demontrasi aksi
protes yang santun ala negara hukum. Mereka punya cara sendiri yang sulit untuk
dipahami.
Source: @subanonim (Twitter)
Penyunting: Heru Adi P. S.Pd.
0 Comments
Posting Komentar